Danum.id, Palangka Raya – Perempuan dan anak merupakan kelompok rentan yang harus mendapat perlindungan. Dalam rangka menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan anak di Kalimantan Tengah (Kalteng), maka diperlukan upaya lebih serius.
Demikian ditandaskan Dileli Astoeti, Kasubag Penyusunan Program pada Dinas P3APPKB Provinsi Kalteng. Ia menilai, sudah dirasa perlu membentuk Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Provinsi berjuluk Bumi Tambun Bungai ini.
Saat ini pula, perempuan yang sedang dalam tahap pendidikan dan latihan kepemimpinan (Diklatpim) IV dan ditugasi membuat proyek perubahan ini, sedang menyusun naskah akademis (NA). Sebab NA menjadi syarat persetujuan dibentuknya UPTD.
“UPTD ini yang nantinya memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam memberikan layanan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan,” kata dia kepada Danum.id, Rabu (28/11/2018).
Keberadaan UPTD-PPA ini, lanjut dia, juga dapat menjadi solusi bagi masyarakat khususnya yang menjadi korban kekerasan untuk mendapatkan jawaban atas persoalan hukum yang dihadapinya.
“Dan yang terpenting UPTD-PPA dapat memberikan jaminan pemenuhan hak-hak korban kekerasan, pendokumentasian data kekerasan mencakup sistem pencatatan dan pelaporan kekerasan lintas kabupaten/kota maupun lintas provinsi yang terpadu dan komprehensif,” tambah dia.

Keprihatinan ini didasarkan pada data empirik yang juga harus menjadi perhatian kita bersama. Angka kekerasan terhadap anak di Kalteng dari laporan kabupaten/kota pada 2013 mencapai 199 kasus.
Kemudian pada 2014 tercatat ada 198 kasus kekerasan, lalu 2015 tercatat 137 kasus, pada 2016 tercatat 184 kasus serta 2017 tercatat 44 kasus, dengan jenis kasus kekerasan terbanyak yaitu persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, penganiayaan terhadap anak dan pemerkosaan terhadap anak.
Begitu juga untuk kasus kekerasan terhadap perempuan di Provinsi ini. Berdasarkan data per 2013 berjumlah 258 kasus, 2014 ada 238 kasus, 2015 sebanyak 173 kasus, dan 2016 meningkat jadi 246 kasus, lalu di 2017 berjumlah 234 kasus.
Adapun jenis kasus yang terbanyak adalah kasus KDRT, perzinahan, pelecehan seksual dan perkosaan. Mirisnya lagi, Provinsi Kalteng merupakan nomor dua tertinggi di Indonesia untuk Perkawinan Dini.
Ia menjelaskan, Pemerintah memiliki tanggung jawab menghormati dan melindungi serta menjamin hak asasi manusia dari setiap warga Negara termasuk perempuan dan anak dan tanpa diskriminasi.
Apalagi perempuan dan anak, kata dia, adalah merupakan kelompok rentan. Upaya yang harus dilakukan Pemerintah yaitu membuat berbagai kebijakan dan implementasinya dengan berpijak pada peraturan perundangan.
“Diantaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” bebernya.
“Dalam rangka pencapaian visi dan misi Gubernur Kalteng menuju Kalteng BERKAH, mari selamatkan anak-anak dan perempuan di Kalteng dari korban kekerasan dan mempersiapkan mereka sebagai calon penerus bangsa,” tutupnya. (Mrz/red)