Bencana Karhutla Kalteng Jadi Sorotan ILUNI UI

0

Danum.id, Palangka Raya – Bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi sorotan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI).

Apalagi memang berlangsung selama berbulan-bulan. Mereka menyoroti penanganan dampak Karhutla yang dirasakan semua makhluk hidup mulai dari manusia, hewan (flora), dan tumbuhan (fauna).

Menurut ILUNI, walaupun terjadi hujan dan mulai membasahi tanah gambut Kalteng, tetapi mereka menilai persoalan kabut asap di Kalteng belum berakhir.

“Persoalan Karhutla yang berakibat kabut asap di Kalimantan, khususnya Kalteng ini belum selesai. Meskipun sudah membaik karena ada hujan,” kata Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Endang Mariani.

Sebab di beberapa tempat, lanjut Endang, indikator kualitas udara tidak berada kondisi yang baik atau sehat. Sehingga kategori masih belum aman hirup.

Ia mengungkapkan pendapatnya tersebut
usai berdiskusi dengan Rektor Universitas Palangka Raya (UPR) Andrie Elia Embang di kantornya, Senin (7/10/2019).

“Di sejumlah tempat ditemukan NAB PM 2.5 masih fluktuatif dan udara pada waktu-waktu tertentu masih masuk dalam kategori tidak sehat,” jelasnya.

Menurut Doktor Psikologi Lulusan UI ini, banyak penelitian dan kajian dilakukan oleh perguruan tinggi, maupun para pakar. Dengan segala kompleksitasnya, akar permasalahan pun sudah diketahui dengan pasti.

“Banyak cara pencegahan dan rekomendasi sudah diberikan. Persoalannya adalah sudah cukup kuatkah kemauan untuk mengatasinya?” Ini persoalan yang sesungguhnya,” ujarnya.

Selain itu ia juga menengarai, asap yang muncul dari hasil kebakaran adalah bencana yang merupakan buatan manusia, yang sudah terjadi berulang kali.

“Hampir setiap tahun. Artinya, ada permasalahan yang belum diselesaikan, yaitu penyebabnya,” ucap Endang.

Ia menegaskan, dampak dari asap Karhutla bukan hanya dirasakan saat kejadian, tetapi berjangka panjang impactnya. Bukan saja dengan munculnya keluhan-keluhan penyakit yang muncul, tetapi akibat yang akan dirasakan sampai puluhan tahun ke depan.

“Khususnya oleh anak-anak dan balita, bisa cukup serius dan dapat mengancam jiwa. Belum lagi kerugian secara ekonomis, terkait biaya yang dikeluarkan untuk memadamkan api dan menanggulangi kondisi darurat. Itupun masih ada biaya-biaya lain yang tidak terlihat dan tidak terhitung,” beber dia.

Rektor UPR, Andrie Ellia Embang saat diskusi dengan Ketua ILUNI UI di rumah dinasnya.

“Secara psikologis, kondisi lingkungan yang dipenuhi asap sepanjang waktu, juga sangat berpengaruh terhadap emosi, kesehatan jiwa dan produktivitas kerja,” pungkasnya.

Sementara itu Rektor UPR, Andrie Elia mengatakan, setiap terjadi kasus Karhutla biaya yang dikeluarkan sangat besar. Yang menjadi persoalan sekarang, kata Elia, bukan bagaimana mengantisipasi jika terjadi lagi kebakaran hutan. Tetapi lebih penting pencegahannya.

“Yang harus diseriusi adalah bagaimana kita bisa mencegahnya, supaya tidak perlu lagi keluar biaya triliunan untuk memadamkan api. Memcegah ini lebih efektif daripada menangani,” ucapnya.

Ellia menyebutkan, UPR harus masuk dalam kelompok Perguruan Tinggi yang memasukkan kurikulum kebencanaan, karena walaupun tidak berada di daerah rawan bencana, seperti gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya, tapi kebakaran hutan termasuk bencana besar.

Sayangnya, kesiapan anggaran untuk itu belum ada posnya. Padahal, tanpa dukungan pemerintah pusat, tidak akan mampu pemerintah daerah mengatasinya sendiri.

Menurut Ellia, sampai dengan saat ini UPR memiliki puluhan ahli gambut, baik yang berpendidikan dalam negeri maupun luar negeri. Mereka bisa dilibatkan dalam hal teknis pencegahan, maupun skala penelitian yang aplikatif.

“Saya tidak ingin menyalahkan siapapun, baik masyarakat dan pihak koorporasi yang lahannya banyak ditemukan terbakar. Tetapi yang jauh lebih penting adalah adakah upaya yang dilakukan dengan tepat dan berkelanjutan?,” tanyanya.

“Contohnya dengan program penanaman sejuta pohon. Niatan itu sudah betul tetapi dari sejuta itu, tidak pernah ada monitoring berapa yang benar-benar hidup,” tamdasnya.

Ia mengusulkan, agar pohon yang ditanam haruslah tananaman produktif. Lalu berikan tanggungjawab ke masyarakat untuk memeliharanya sampai benar-benar tumbuh dan bisa menghasilkan.

“Tetapi jangan lupa, berikan juga biaya penanaman dan pemeliharaannya. Misalnya seperti yang diberlakukan kepada para transmigran,” pungkas Ellia. (Mrz/red)