Danum.id, Palangka Raya – Mengelola organisasi mahasiswa menjadi solid dan berdaya saing, harus mengetahui potensi diri, lingkungan, dan dimana posisi lawan. Maping (pemetaan) ini penting, agar bisa merencanakan ‘teknik dan taktik’ pergerakan.
Berbicara strategi penguasaan medan dalam kerangka pengembangan organisasi, tidak salah jika melirik konsep strategi menguasai medan, yang lazim disebut ‘Seni Berperang ala Sun Tzu. Strategi dari Sun Tzu – Jenderal asal Tiongkok dan juga seorang ahli strategi militer- lewat kalimat bijaknya ini dia bisa bangkitkan jiwa kepemimpinan.
Taktik ini dikenalkan Mukhlas Roziqin, saat menjadi narasumber Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Palangka Raya, di Asrama Haji Almabrur, Sabtu (23/3/2019).
“Kata Sun Tzu, jika anda ingin menguasai peperangan, maka kuasailah medannya. “Medan Perang” kita adalah kampus, bagaimana antropologi kampus kita ? Tentu kita yang lebih paham terkait kondisi kampus masing-masing,” ujar Roziqin, di hadapan peserta PKD yang mayoritas berasal dari IAIN Palangka Raya dan Universitas Palangka Raya (UPR) itu.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Kalteng ini memang didapuk memberi materi tentang ‘Strategi Pengembangan Organisasi’.
Kenapa harus mengetahui posisi lawan, dalam arti organisasi lain yang sejenis, ia mengatakan hal tersebut sebagai tolok ukur untuk berposisi diri. Banyak organisasi yang terbilang baru, tetapi mereka lebih agresif ‘dalam menyerang’ terhadap titik-titik yang justru sebenarnya kantong-kantong kita sendiri.
Atau kerena banyak organisasi yang lebih muda secara umur, tetapi kadangkala lebih solid karena bisa jadi ‘goals dan outputnya’ lebih terukur di pihak mereka. Organisasi mereka yang kerap menjual jargon “lebih islami” itu, harus diakui lebih militan dan disiplin. Oleh sebab itulah analisa internal dan eksternal perlu dikuatkan.
“Kadangkala kita sudah bisa melampaui mereka kok, kualitas personal kita lebih mumpuni karena inputnya banyak dari pesantren. Hanya saja kita tidak PeDe. Sedangkan mereka secara personal biasa-biasa saja, tapi lebih PeDe lantaran lebih rapi dan terstruktur. Ini tantangan kita,” tandas dia
Ia menandaskan, mahasiswa saat ini dapat dimengerti hanya apabila kita mampu menyelami cara berpikir mahasiswa, bukannya mahasiswa yang dipaksa untuk mengikuti cara berpikir PMII. Ini boleh jadi merupakan jalan primer untuk ditempuh sehingga PMII dapat diterima oleh mahasiswa.
“Dengan kalimat lain, bukan mahasiswa yang pertama-tama harus mengikuti jalan pikiran PMII melainkan PMII-lah yang pertama-tama mesti mengikuti jalan pikiran mahasiswa. Strategi ini dinamai ‘masuk dari pintu mereka keluar dari pintu kita’,” sambungnya.
Ada beberapa hal yang menjadi penekanan yang disampaikan pemateri yang kini menempuh pendidikan sebagai mahasiswa doktoral (S3) ilmu lingkungan di Unversitas Palangka Raya ini.
Pertama, Strategi Rekruitmen. Secara umum kampus terbagi dalam beberapa spot. Target ke depan adalah bagaimana menghadapi mahasiswa baru dengan beragam minat dan hobby, maka kenali tempat yang nyaman bagi mereka untuk berlama-lama menghabiskan waktu menentukan minat dan hobby mereka.
“Ada yang suka di koridor/taman, Masjid/Mushalla, Perpustakaan, Kantin, dan sebagainya. Tentu semuanya memilki potensi. Kenali mereka dan apa keinginan/kebutuhannya. Pastikan semua “pengkader” tersebar di setiap spot yang ada di kampus,” tutur dia.
Kedua, Strategi menuju Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) dan output Mapaba. Namun proses kaderisasi yang sangat vital justru adalah pendampingan paska MAPABA. Pendampingan sendiri adalah proses handling yang di dalamnya tercakup perencanaaan, controling, dan evaluasi untuk tercapainya suatu target.
“Terkait dengan hal ini, contoh yang baik mungkin kampus agama. Di kampus agama, PMII rata-rata dominan, Tetapi setelah MAPABA, yang aktif betul hanya puluhan orang. Pasti ada yang salah di MAPABA dan paska MAPABA-nya. Kenapa ? Karena orientasinya mungkin masih hanya melaksanakan Agenda Seremonial,”
Sentuh Jiwanya
Strategi selanjutnya adalah Strategi Follow Up. Untuk pelatihan non formal, yang pasti harus dibangun sistem monitoring anggota baru perjurusan, perfakultas dan perjenis kelamin. Kenapa ? Agar anggota baru dapat terfasilitasi urusan perkuliahannya.
Ia mengatakan, beberapa hal memang harus dilakukan dengan upaya mengerti kebutuhan orang lain yang menjadi sasaran, bukan memaksakan apa keinginan kita. Dengan pola bottom-up itu, mereka akan lebih tersentuh.
“Kalau sudah tersentuh jiwanya, akan tertarik untuk ikuti kita. Sama hal ketika menghadapi calon mertua. Sentuh hatinya, sentuh jiwanya, maka anaknya akan diberikan kepada engkau,” ucapnya mengilustrasikan.
Dalam hal kegiatan kampus, kalau ada tugas kuliah, bisa bertanya dan dibantu oleh mentor. Kalau perlu menginap di rumahnya pun bisa diterima oleh orang tuanya. Semangat kekeluargaan dalam proses mentoring harus terjalin. Jika diperlukan, buat kegiatan bersama anggota baru (Futsal, Renang, dst). Sesuai dengan minat hobby mereka.
“Di organisasi ini, dikenalkan jargon Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh. Nah, kita terbiasa berzikir dan berfikir, namun yang ketiga ini yang ditunggu, yaitu ber-amal sholeh, dengan berkegiatan di tengah masyarakat melalui pendampingan sosial, edukasi anak terlantar misalnya, atau anak-anak atau perempuan korban kekerasan, memberi les pelajaran kepada anak tidak mampu, les baca alquran gratis misalnya,” tutup dia. (red)