Danum.id, Palangka Raya – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalteng menggelar sebuah dialog pagi atau yang disebut mudzakaratussobah, membicarakan pemindahan Ibukota RI. Panitia menghadirkan dua pembicara dari kalangan cendekiawan muslim dari latar belakang berbeda.
Keduanya bicara dua sudut pandang, tetapi konteksnya tetap pada kesiapan Kalteng. Ini karena Kalteng sendiri merupakan salah satu provinsi yang dipilih untuk menjadi lokasi pemindahan ibu kota pemerintahan tersebut.
Pada dialog yang digelar Sabtu (3/8/2019) pagi di Aula Masjid Raya Darussalam Palangka Raya itu, dua pembicara yang dihadirkan adalah Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Kalteng Prof Dr Sulmin Gumiri dan Rektor IAIN Palangka Raya Dr Khairil Anwar.
Prof Sulmin diharapkan membahas topik tersebut dari sisi kepakarannya tentang lingkungan hidup, dan Dr Khairil membahas dari sisi sosiologi agama sesuai disiplin ilmunya. Sementara beberapa tokoh agama dan akademisi yang hadir, menjadi pembahas. Lalu apa penekanan dua pemateri itu?
Sulmin lebih banyak mengupas dari sisi nilai tawar yang disuguhkan Kalteng dalam membangun ‘citra rasa’ Ibukota, yang kemudian ia paparkan dengan Faktor Kebahagiaan. Ada beberapa indikator internasional untuk menyebut warga negara yang memiliki derajat kebahagiaan.
Antara lain faktor keseimbangan emosi. Suatu komunitas masyarakat yang seimbang dan baik emosinya, maka warga bisa menjalankan agama dengan baik dan nyaman. Lalu indikator pemenuhan kesehatan yang baik, ketahanan keluarga, kecukupan income/pendapatan, dan beberapa indikator lain.
“Coba bandingkan dengan Jakarta, disana dikuras emosinya, terpaku pada rutinitas kerja pergi pagi pulang malam, kuantitas ketemu dengan keluarga sanat sedikit akibat terjebak hiruk pikuk kemacetan, kualitas lingkungan rendah karena polusi, dan seterusnya. Di Kalteng kan tidak demikian, kita sangat bahagia disini karena tidak terganggu dengan yang di Jakarta itu,” beber Profesor dari Universitas Palangka Raya tersebut.
Narasumber lainnya, Khairil Anwar, yang berbicara perspektif sosiologi, cukup gamblang menjelaskan bagaimana moderasi Islam sangat dibutuhkan untuk dibangun dalam kerangka melandasi Ibukota baru nantinya. Beberapa kali ia mengingatkan, pemindahan Ibukota dari Jakarta, akan membawa dampak pada sisi religiusitas khususnya aliran-aliran.
“Memang akan membawa dampak secara sosiologis dalam hal keberagaman dan keber-agamaan. Umat Islam saat ini secara kuantitas sudah menurun. Secara kualitas, akan banyak aliran-aliran, mulai dari ekstrim kiri hingga ekstim kanan akan datang dan memengaruhi,” kata Khairil.
“Fakta di Ibukota sekarang, percaturan aliran dalam Islam begitu kuat, maka sekarang dan nanti, dibutuhkan moderasi Islam, harus perbanyak penyampaian khazanah Islam moderat,” lanjutnya.
Ia kemudian menyerukan pentingnya Himayatul ummah. Dengan cara memperkuat Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah agar kekuatan sesama anak bangsa Indonesia ini kuat, tidak mudah dipecah belah seperti yang terjadi di jazirah arab belakangan ini.
“Ormas Islam yang moderat harus terus di depan, seperti NU, Muhammadiyah, LDII, ini harus kompak mengkokohkan persaudaraan kita. Lalu masalah adat budaya atau Al ‘urf. Pertahankan kearifan lokal, budaya harus dipelihara, karena ada ‘Urf salih dan ‘Urf yang fasiq,” tambahnya.

Sementara itu, salah satu Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), Syamsuri Yusup mengingatkan pentingnya langkah antisipatif menghadapi apabila Kalteng benar-benar ditunjuk atau ditetapkan sebagai Ibukota menggantikan Jakarta.
“Yang perlu disiapkan adalah adalah bagaimana mempererat ukhuwah, baik islamiyah, insaniyah, dan wathaniyah serta upaya mempertahankan nilai budaya kita yang baik, kearifan lokal kita, supaya tidak tergerus. Hal kedua, perlu peningkatan SDM yang dalam konsep Islam disebut khaira ummah,” tandas Syamsuri yang menjabat Sekretaris MUI Kalteng periode lalu. (Mrz/red)